Halaman

Jumat, 16 Agustus 2013

Perayaan HUT Kemerdekaan, Bukan Sekadar Suka Cita

Perayaan hari kemerdekaan Indonesia, setiap tahunnya (kecuali beberapa tahun kemarin ketika bertepatan pada bulan Ramadhan) diwarnai lomba-lomba yg berbau perjuangan, untuk mendapatkan suatu kejayaan atau kemenangan. Kemenangan yg didapat, berupa harta benda, makanan, hingga uang dan hadiah lainnya ketika menjadi yang terbaik. Prosesnya, penuh persaingan, pergulatan, susah payah, walaupun diselingi gelak tawa dan hiburan-hiburan.
Coba kita renungkan, apakah dengan demikian Hari Kemerdekaan Indonesia telah benar-benar terasa perayaannya? Apakah perlombaan-perlombaan itu menggambarkan suatu kebahagiaan? Atau, itu merupakan suatu refleksi perjuangan?
Jika itu perjuangan, apakah perjuangan dulu harus menjatuhkan teman sebangsa bahkan saudara sendiri? Sebut saja, panjat pinang. Jika itu kebahagiaan, apakah kebahagiaan hanya untuk pemenang perlombaan? Apakah kebahagiaan sesaat dalam satu hari itu bisa mendukung kebahagiaan di hari-hari lainnya?
Bukan bermaksud apa-apa, perayaan kemerdekaan Indonesia selama ini seakan membuat rakyat terlena, terlena untuk terus memuja, bahwa Indonesia telah merdeka. Terus memuja, hingga kesombongan muncul, takabur pun muncul, hingga tak sadar jika kemerdekaan yang ada juga bisa terkikis. Kita bisa lihat, banyak kasus terjadi pada negara-negara sahabat.
Perayaan kemerdekaan Indonesia selama ini, hanya terus menceritakan bagaimana perjuangan dulu, dan memotivasi belaka bagaimana ke depannya.
Mungkin, lebih baik jika perayaan kemerdekaan Indonesia, diisi dengan perenungan, dan penyadaran, apakah masih pantas Indonesia mendapat gelar “Merdeka”? Lebih baik pemerintah dan rakyat mendapat pemupukan untuk memiliki jiwa merdeka lahiir batin, dari segala perbuatan penjajah.
Karena, ingatlah bahwa perjuangan kemerdekaan dulu dilakukan bertahun-tahun. Namun, apakah kita hanya memperingatinya dalam beberapa jam saja, dalam paruh hari saja, tanpa esensi yang melekat lama? Apakah kita hanya mampu memperingatinya dengan gelak tawa, yg mungkin tak dirasakan orang-orang pejuang kemerdekaan dulu?
Harus ada suatu perubahan. Minimal, dalam bentuk perayaan. Perayaan yang bukan sekadar suka cita. Tapi, perayaan yang membawa perubahan. Perubahan mendasar. Tak cukup sehari memang. Tapi penyadaran itu perlu. Itu pun, jika mau perubahan. Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu dekade, satu abad, dilakukan bertahap, demi perubahan, dan menjaga status “Merdeka”. Merdeka seutuhnya!!
Dirgahayu Indonesiaku, Selamat milad kemerdekaan yang ke-68. Jadilah pemilik usia 68 tahun yang sebenarnya, bukan penyandang usia belasan tahun yang masih labil.
HIDUP INDONESIA!! MERDEKA!!

Minggu, 11 Agustus 2013

Untuk Apa Aku Kritis?

Mahasiswa, identik dengan sifat kritis, suka mengkritik. Tak hanya mahasiswa sebenarnya, pelajar dan mantan mahasiswa pun banyak yang menanamkan dan menumbuhkan jiwa kritis pada diri mereka dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk apa? Itu merupakan sebuah pertanyaan besar.

Pada massa perjuangan, jelas sikap kritis menjadi suatu dasar penyemangat para pejuang untuk meraih kemerdekaan. Sebut saja Ernest Douwes Dekker dengan Indiche Partij nya, senantiasa mengkritik sistem pemerintahan Hindia Belanda, dan hanya berlandaskan logika pribadinya saja. Hingga terus, perjuangannya pun dilanjutkan dengan mengajarkan masyarakat awam bersikap kritis. 

Begitu banyak pemberontakan dan pembelotan berbagai tokoh pejuang Indonesia dalam hidup di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dr Soetomo, Soedirman, Buya Hamka, Agoes Salim, dll, hingga berujung pada persatuan pemikiran kritis golongan tua dan golongan pemuda yang merumuskan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945. 

Pada masa Sukarno menjadi Presiden RI pun, sebut saja "Orde Lama", berbagai pemikiran kritis muncul akibat gaya kepemimpinan Sukarno yang perlahan melenceng dan tidak disukai masyarakat. Mahasiswa, kala itu menjadi cikal bakal pertumbuhan karakter kritis pemuda yang masih diwarisi hingga sekarang, meski hanya beberapa. Kekritisan disalurkan pada berbagai media, baik pengutaraan langsung, maupun pemanfaatan media massa yang terkenal dengan "Pers Mahasiswa". 

Orde Baru pun demikian. Pasca kudeta halus yang dilakukan Soeharto terhadap kepemimpinan Sukarno, berbagai kritikan muncul akibat kesewenangan yang dilakukan Bapak Pembangunan tersebut. Betapa tidak, semula, di kala Sukarno dihujat dengan kesewenagannya, pembredelan pers mahasiswa terus terjadi, bahkan  kekerasan dan pemberontakan PKI yang mengantarkannya menjadi seorang pahlawan dan pemimpin baru negeri ini, akhirnya juga menimbulkan keresahan masyarakat. Berbagai protes berujung pada celaka bagi para tukang protes. Namun, ia akhirnya tak berkutik pada puncak kekritisan masyarakat pada Mei 1998. 

Reformasi pun muncul dengan gaya hidup baru masyarakat Indonesia: penuh kritik. Reformasi, menyanjung demokrasi, meski bentuknya masih abstrak hingga kini. Yang berakibat, tak jelas batasan dan bentuk demokrasi itu. Masyarakat semakin kritis, protes pun dilancarkan di mana-mana. Bahkan pada pemerintah dan kebijakannya, tak tahu lagi mana yang baik dan yang nyaman itu bagaimana. 

Masa reformasi, surganya kritik di mana-mana, surganya para orang-orang kritis. Bahkan pemikiran kritis pun dikritisi. Semua saling mengkritisi. Benar sekali pun, dikritisi. Tak jelas lagi patokan kebenaran yang hakiki. 

Lalu, apa sebenarnya "kritis" itu??

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, kritis itu:

2kri·tis a 1 bersifat tidak lekas percaya; 2 bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; 3 tajam dl penganalisisan; 

Ada tiga pemahaman di sana. Pertama, kritis menunjukkan tidak langsung percaya pada pesan yang ditangkap. Ada baiknya memang demikian. Karena, dari dulu hingga sekarang, setiap ucapan seorang tokoh, sarat akan politisisasi. Maka demikian daya kritis perlu dimunculkan dan dipertajam. 

Kedua, kritis menunjukkan usaha menemukan kesalahan dan kekeliruan. Ada baiknya juga demikian, karena setiap usaha dalam niat baik manusia, pasti ada celah untuk melakukan kesalahan. Kritis, membantu kita dalam menemukan kesalahan dan kekeliruan tersebut, untuk kemudian dapat disempurnakan lebih lanjut. 

Ketiga, kritis menunjukkan analisa yang tajam. Pemahaman yang merangkum dua pemahaman sebelumnya. Orang kritis identik dengan kegemaran menganalisa dengan ketajaman tertentu. Dan, memang seharusnya, tajam, agar tidak menjadi kritik yang sembarangan. 

***

Saya, merupakan pribadi yang kritis. Itu kata orang, dan juga penilaian pribadi. Memang jelas, saya memang suka mengkritik berbagai pemikiran dan sikap orang-orang, termasuk kebijakan pemerintah yang senantiasa mengundang kritik dari masyarakat, termasuk masyarakat awam seperti saya. 

Seperti yang saya sampaikan di atas, mahasiswa identik dengan kritis. Saya pun, membangun watak kritis lebih tinggi lagi saat memasuki masa-masa menjadi mahasiswa. Masa mahasiswa, apa lagi menjadi mahasiswa rantau, membuka mata saya lebar-lebar untuk melihat dunia yang lebih fana lagi, dengan segala kebijakan pesan-pesan yang ada, yang ternyata banyak yang menyinggung logika berpikir positif saya. 

Masa mahasiswa, masa-masa rawan. Di sanalah jalan hidup seorang pelajar akan terlihat. Menjadi pengikut, pemberontak, perusak, atau pembaharu sistem-sistem yang ada? 

Menjadi pengikut, belum tentu tak punya daya kritis. Menjadi pemberontak, belum tentu punya daya kritis yang murni dari diri sendiri. Karena, bisa jadi pemberontakan dilakukan karena menjadi seorang pengikut. Perusak, adalah suatu pelencengan dari sebuah daya kritis. Pembaharuan, suatu pemanfaatan daya kritis menjadi sesuatu yang membangun. 

Tak perlu dikritisi paragraf di atas, itu hanya pendapat pribadi saya. 

Kemudian muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, "Untuk apa  saya memiliki sikap dan pemikiran kritis?" . Jawabannya bisa saja ada pada empat kemungkinan jalan hidup yang saya jabarkan di atas. 

***

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama mengutarakan pandangan pribadinya terhadap saya, setelah menanyakan kabar kelulusan saya dari status sebagai mahasiswa. "Kamu kenapa belum lulus? Kamu kan rajin, kritis pula," ungkapnya. Saya tersenyum, tertawa kecil "Hehe", dan merenung sedikit. Sahabat lama ini menilai saya sangat kritis. 

Saya memanglah orang yang suka banyak pikiran dengan berbagai analisis. Renungan sejenak atas pernyataan sahabat lama tersebut berlanjut pada pertanyaan dalam hati, "Apa yang telah saya perbuat dengan daya kritis ini?". Barulah muncul pertanyaan, "Untuk apa saya kritis?". 

Sebenarnya, saya sudah lama memikirkan pertanyaan terakhir. Dari awal mahasiswa, saya telah mempertanyakan "mengapa saya kritis?", "apakah ada gunanya?", "apakah akan ada perubahan?", "bukankah saya sama saja dengan mahasiswa lain yang hobinya unjuk rasa?".

Dari zaman SMA, hingga masuk kuliah, hingga sekarang pun, saya masih mempertanyakan makna unjuk rasa dari Mahasiswa. Mengapa mahasiswa berunjuk rasa? Itukah bentuk kekritisan mereka? Atau itukah bentuk kepedulian mereka terhadap negara? Tapi, saat ini, adakah perubahan yang terjadi?

Sekiranya pertanyaan tersebut merupakan introspeksi bagi saya, apakah kekritisan saya telah berbuah hasil untuk hal yang lebih baik? Apakah saya akan terus cuap-cuap begini? Betul, kekritisan saya harus terus meningkat menjadi realisasi suatu perubahan.

Namun, tak cukup sampai di sana. Ada satu pertanyaan pelik yang ditujukan pada orang-orang atau mahasiswa berpemikiran kritis, kritis banget, atau agak kritis seperti saya.

"Sekarang kamu kritis, mengkritisi segala hal, pemerintah pun dikritik. Kalo nanti kamu ada di posisi mereka bagaimana? Kalo kamu melakukan hal yang sama bagaimana?" 

Cukup #jleb!

Bagi orang yang kritis tapi labil, akan berhenti sejenak bersikap kritis karena takut akan kejadian hal demikian, namun akan mengulanginya lagi ketika berada di lingkungan orang-orang kritis. Bagi orang yang hanya ikut-ikutan kritis, ya dia akan tetap kritis dan mengklaim dia idealis, namun ia akan mengalami hal yang serupa dengan oknum yang ia kritisi nanti. Bagi orang sungguh-sungguh idealis dalam kekritisannya, hingga ia lulus kuliah, ia akan tetap bersuara dan tidak akan menyentuh secara langsung hal-hal yang ia kritisi, sebelum ia mampu mengubah hal yang dikritisi dari luar, dengan caranya sendiri. Tentu, itu menjadi pilihan.

***

Saya bertanya pada teman-teman satu angkatan di Jurusan Ilmu Jurnalistik, angkatan 2009, "Apakah mereka menilai mereka kritis? Untuk apa mereka kritis?". Pertanyaan saya lontarkan di sebuah grup chatting sebuah media sosial.

Beragam jawaban muncul, baik hanya candaan maupun jawaban ngasal yang memang itulah apa yang ada di prinspip hidup mereka. Hingga seorang teman berkomentar dan membuka wawasan luas bagi saya, maupun teman-teman yang tadinya hanya bercanda. Memang, pertanyaan saya, jika tidak dipahami terlebih dahulu, akan terlihat dangkal dan konyol. Beruntung, ada seorang teman yang mengerti dan memberikan jawaban, mungkin karena pernah membahas hal yang sama.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)

Ayat di atas menjadi penerang jalan pemahaman saya, yang baru saya temukan dari sebuah link tulisan yang dikirim oleh teman tadi. Judul tulisannya "Tabayyun dalam menerima berita", dimuat pada blog muslimminang.wordpress.com. 


Berdasarkan tafsirannya, juga dijelaskan dalam tulisan itu, bahwa pada ayat tersebut terdapat kalimat fatabayyanuu, yang diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti". Maksudnya adalah, telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10)



Sejarahnya, ayat tersebut disampaikan pada Rasulullah SAW saat ia mendapatkan kabar dari seseorang mengenai perkara zakat, yang membuat Rasulullah kecewa dan marah. Namun ternyata kabar yang diterima Rasulullah hanyalah sebuah kebohongan. 

Nah, dari sana saya mendapat pencerahan bahwa ternyata sikap dan pemikiran kritis sangat dibutuhkan dalam hidup ini. Setiap pesan yang diterima, apa-apa saja yang disampaikan kepada kita, patut untuk dikritisi terlebih dahulu, agar tidak terjadi kesesatan dan kesalahpahaman di kemudian harinya. Bukan suudzon, bukan berburuk sangka, namun dengan pemikiran yang kritis kita dapat waspada. Bertanya tidaklah diharamkan. Bertanya adalah sekecil-kecilnya sikap kritis. Dengan bertanya, kita bisa tahu lebih lanjut mengenai suatu pesan, baik pesan verbal maupun non verbal, pesan tersurat maupun tersurat. Kritis, bisa jadi merupakan suatu bentuk kepedulian agar sesuatu atau pihak lain bersama kita selalu mendapat kebaikan. 

Namun, saat ini sikap kritis sering kali mendapatkan cemoohan belaka. Sikap kritis dari berbagai aktivis, tak jarang mendapatkan cibirian dari masyarakat lain. Padahal, kekritisan tersebut dilakukan demi masyarakat luas. Orang yang bersikap kritis pun, dikritik, bahkan dicela. Ini sangat tak baik, karena besar kemungkinan ada pesan-pesan baik yang terkandung di dalamnya, baik tersurat maupun tersirat. Apa mau dikata, kekritisan seseorang akan tumpul jika terus dicemooh, hingga sang pemuda kritis akan enggan untuk bersikap kritis lagi. Jika daya kritis para pemuda benar-benar hilang, ya, tak perlu diduga-duga bagaimana akibatnya. Zona nyaman akan merajalela, penjajahan kembali terus merebak. Ini akibat, tak adalah lagi jiwa muda yang mau menjalankan fungsi kontrol dirinya dengan menumbuhkan dan mengambil sikap dari pemikiran kritis. 


Saat ini, pemuda seakan ditaklukkan akan kekritisannya. Mereka diancam, mereka ditakuti. Mahasiswa, terancam putus kuliah. Pemuda, terancam dipersulit mendapatkan pekerjaan. Sesama mereka ditakut-takuti akan keadaan masa yang akan datang, yang direfleksikan pada kisah masa lalu, salah satunya peristiwa trisakti dan tanggal 21 Mei 1998. Mahasiswa ditakuti sesama mahasiswa. Itu pun tak ada daya kiritis yang muncul. Tak ada sikap kritis atas apa yang diterima dari sesama mahasiswa. Semua ditelan, hingga mahasiswa mau tak mau harus ikut jalur hidup pada normalnya. Pemuda akan terus diarahkan pada kesenangannya, hingga ia lengah, dan hancurlah dunia ini. Di sinilah, daya kritis yang membantu pada suatu kekuatan.


Jadi, kembali ke pertanyaan utama, "Untuk apa saya kritis? Saya pun sudah punya jawabannya:

"Agar saya tidak sesat, agar tak salah langkah". 


Benar, sikap kritis yang kelak membantu dan mengumpulan kekuatan, untuk mendapatkan suatu kebenaran. Ingat, hidup tak selamanya indah. Yang paling indah pun bukan berarti yang paling baik. Yang indah, bisa jadi hanya merasuk pada kenyamanan, hingga lengah dan lupa pada berbagai masalah. 


Wallahu alam. Demikianlah, semoga tulisan ini bermafaat. Semoga kita tak segan mengeluarkan daya kritis. Dari kritis kita berubah, Dari kritis kita jadi jauh lebih bik :)

Wassalamualaikum Wr Wb.

]c
cc