Halaman

Jumat, 16 Agustus 2013

Perayaan HUT Kemerdekaan, Bukan Sekadar Suka Cita

Perayaan hari kemerdekaan Indonesia, setiap tahunnya (kecuali beberapa tahun kemarin ketika bertepatan pada bulan Ramadhan) diwarnai lomba-lomba yg berbau perjuangan, untuk mendapatkan suatu kejayaan atau kemenangan. Kemenangan yg didapat, berupa harta benda, makanan, hingga uang dan hadiah lainnya ketika menjadi yang terbaik. Prosesnya, penuh persaingan, pergulatan, susah payah, walaupun diselingi gelak tawa dan hiburan-hiburan.
Coba kita renungkan, apakah dengan demikian Hari Kemerdekaan Indonesia telah benar-benar terasa perayaannya? Apakah perlombaan-perlombaan itu menggambarkan suatu kebahagiaan? Atau, itu merupakan suatu refleksi perjuangan?
Jika itu perjuangan, apakah perjuangan dulu harus menjatuhkan teman sebangsa bahkan saudara sendiri? Sebut saja, panjat pinang. Jika itu kebahagiaan, apakah kebahagiaan hanya untuk pemenang perlombaan? Apakah kebahagiaan sesaat dalam satu hari itu bisa mendukung kebahagiaan di hari-hari lainnya?
Bukan bermaksud apa-apa, perayaan kemerdekaan Indonesia selama ini seakan membuat rakyat terlena, terlena untuk terus memuja, bahwa Indonesia telah merdeka. Terus memuja, hingga kesombongan muncul, takabur pun muncul, hingga tak sadar jika kemerdekaan yang ada juga bisa terkikis. Kita bisa lihat, banyak kasus terjadi pada negara-negara sahabat.
Perayaan kemerdekaan Indonesia selama ini, hanya terus menceritakan bagaimana perjuangan dulu, dan memotivasi belaka bagaimana ke depannya.
Mungkin, lebih baik jika perayaan kemerdekaan Indonesia, diisi dengan perenungan, dan penyadaran, apakah masih pantas Indonesia mendapat gelar “Merdeka”? Lebih baik pemerintah dan rakyat mendapat pemupukan untuk memiliki jiwa merdeka lahiir batin, dari segala perbuatan penjajah.
Karena, ingatlah bahwa perjuangan kemerdekaan dulu dilakukan bertahun-tahun. Namun, apakah kita hanya memperingatinya dalam beberapa jam saja, dalam paruh hari saja, tanpa esensi yang melekat lama? Apakah kita hanya mampu memperingatinya dengan gelak tawa, yg mungkin tak dirasakan orang-orang pejuang kemerdekaan dulu?
Harus ada suatu perubahan. Minimal, dalam bentuk perayaan. Perayaan yang bukan sekadar suka cita. Tapi, perayaan yang membawa perubahan. Perubahan mendasar. Tak cukup sehari memang. Tapi penyadaran itu perlu. Itu pun, jika mau perubahan. Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu dekade, satu abad, dilakukan bertahap, demi perubahan, dan menjaga status “Merdeka”. Merdeka seutuhnya!!
Dirgahayu Indonesiaku, Selamat milad kemerdekaan yang ke-68. Jadilah pemilik usia 68 tahun yang sebenarnya, bukan penyandang usia belasan tahun yang masih labil.
HIDUP INDONESIA!! MERDEKA!!

Minggu, 11 Agustus 2013

Untuk Apa Aku Kritis?

Mahasiswa, identik dengan sifat kritis, suka mengkritik. Tak hanya mahasiswa sebenarnya, pelajar dan mantan mahasiswa pun banyak yang menanamkan dan menumbuhkan jiwa kritis pada diri mereka dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk apa? Itu merupakan sebuah pertanyaan besar.

Pada massa perjuangan, jelas sikap kritis menjadi suatu dasar penyemangat para pejuang untuk meraih kemerdekaan. Sebut saja Ernest Douwes Dekker dengan Indiche Partij nya, senantiasa mengkritik sistem pemerintahan Hindia Belanda, dan hanya berlandaskan logika pribadinya saja. Hingga terus, perjuangannya pun dilanjutkan dengan mengajarkan masyarakat awam bersikap kritis. 

Begitu banyak pemberontakan dan pembelotan berbagai tokoh pejuang Indonesia dalam hidup di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dr Soetomo, Soedirman, Buya Hamka, Agoes Salim, dll, hingga berujung pada persatuan pemikiran kritis golongan tua dan golongan pemuda yang merumuskan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945. 

Pada masa Sukarno menjadi Presiden RI pun, sebut saja "Orde Lama", berbagai pemikiran kritis muncul akibat gaya kepemimpinan Sukarno yang perlahan melenceng dan tidak disukai masyarakat. Mahasiswa, kala itu menjadi cikal bakal pertumbuhan karakter kritis pemuda yang masih diwarisi hingga sekarang, meski hanya beberapa. Kekritisan disalurkan pada berbagai media, baik pengutaraan langsung, maupun pemanfaatan media massa yang terkenal dengan "Pers Mahasiswa". 

Orde Baru pun demikian. Pasca kudeta halus yang dilakukan Soeharto terhadap kepemimpinan Sukarno, berbagai kritikan muncul akibat kesewenangan yang dilakukan Bapak Pembangunan tersebut. Betapa tidak, semula, di kala Sukarno dihujat dengan kesewenagannya, pembredelan pers mahasiswa terus terjadi, bahkan  kekerasan dan pemberontakan PKI yang mengantarkannya menjadi seorang pahlawan dan pemimpin baru negeri ini, akhirnya juga menimbulkan keresahan masyarakat. Berbagai protes berujung pada celaka bagi para tukang protes. Namun, ia akhirnya tak berkutik pada puncak kekritisan masyarakat pada Mei 1998. 

Reformasi pun muncul dengan gaya hidup baru masyarakat Indonesia: penuh kritik. Reformasi, menyanjung demokrasi, meski bentuknya masih abstrak hingga kini. Yang berakibat, tak jelas batasan dan bentuk demokrasi itu. Masyarakat semakin kritis, protes pun dilancarkan di mana-mana. Bahkan pada pemerintah dan kebijakannya, tak tahu lagi mana yang baik dan yang nyaman itu bagaimana. 

Masa reformasi, surganya kritik di mana-mana, surganya para orang-orang kritis. Bahkan pemikiran kritis pun dikritisi. Semua saling mengkritisi. Benar sekali pun, dikritisi. Tak jelas lagi patokan kebenaran yang hakiki. 

Lalu, apa sebenarnya "kritis" itu??

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, kritis itu:

2kri·tis a 1 bersifat tidak lekas percaya; 2 bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; 3 tajam dl penganalisisan; 

Ada tiga pemahaman di sana. Pertama, kritis menunjukkan tidak langsung percaya pada pesan yang ditangkap. Ada baiknya memang demikian. Karena, dari dulu hingga sekarang, setiap ucapan seorang tokoh, sarat akan politisisasi. Maka demikian daya kritis perlu dimunculkan dan dipertajam. 

Kedua, kritis menunjukkan usaha menemukan kesalahan dan kekeliruan. Ada baiknya juga demikian, karena setiap usaha dalam niat baik manusia, pasti ada celah untuk melakukan kesalahan. Kritis, membantu kita dalam menemukan kesalahan dan kekeliruan tersebut, untuk kemudian dapat disempurnakan lebih lanjut. 

Ketiga, kritis menunjukkan analisa yang tajam. Pemahaman yang merangkum dua pemahaman sebelumnya. Orang kritis identik dengan kegemaran menganalisa dengan ketajaman tertentu. Dan, memang seharusnya, tajam, agar tidak menjadi kritik yang sembarangan. 

***

Saya, merupakan pribadi yang kritis. Itu kata orang, dan juga penilaian pribadi. Memang jelas, saya memang suka mengkritik berbagai pemikiran dan sikap orang-orang, termasuk kebijakan pemerintah yang senantiasa mengundang kritik dari masyarakat, termasuk masyarakat awam seperti saya. 

Seperti yang saya sampaikan di atas, mahasiswa identik dengan kritis. Saya pun, membangun watak kritis lebih tinggi lagi saat memasuki masa-masa menjadi mahasiswa. Masa mahasiswa, apa lagi menjadi mahasiswa rantau, membuka mata saya lebar-lebar untuk melihat dunia yang lebih fana lagi, dengan segala kebijakan pesan-pesan yang ada, yang ternyata banyak yang menyinggung logika berpikir positif saya. 

Masa mahasiswa, masa-masa rawan. Di sanalah jalan hidup seorang pelajar akan terlihat. Menjadi pengikut, pemberontak, perusak, atau pembaharu sistem-sistem yang ada? 

Menjadi pengikut, belum tentu tak punya daya kritis. Menjadi pemberontak, belum tentu punya daya kritis yang murni dari diri sendiri. Karena, bisa jadi pemberontakan dilakukan karena menjadi seorang pengikut. Perusak, adalah suatu pelencengan dari sebuah daya kritis. Pembaharuan, suatu pemanfaatan daya kritis menjadi sesuatu yang membangun. 

Tak perlu dikritisi paragraf di atas, itu hanya pendapat pribadi saya. 

Kemudian muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, "Untuk apa  saya memiliki sikap dan pemikiran kritis?" . Jawabannya bisa saja ada pada empat kemungkinan jalan hidup yang saya jabarkan di atas. 

***

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama mengutarakan pandangan pribadinya terhadap saya, setelah menanyakan kabar kelulusan saya dari status sebagai mahasiswa. "Kamu kenapa belum lulus? Kamu kan rajin, kritis pula," ungkapnya. Saya tersenyum, tertawa kecil "Hehe", dan merenung sedikit. Sahabat lama ini menilai saya sangat kritis. 

Saya memanglah orang yang suka banyak pikiran dengan berbagai analisis. Renungan sejenak atas pernyataan sahabat lama tersebut berlanjut pada pertanyaan dalam hati, "Apa yang telah saya perbuat dengan daya kritis ini?". Barulah muncul pertanyaan, "Untuk apa saya kritis?". 

Sebenarnya, saya sudah lama memikirkan pertanyaan terakhir. Dari awal mahasiswa, saya telah mempertanyakan "mengapa saya kritis?", "apakah ada gunanya?", "apakah akan ada perubahan?", "bukankah saya sama saja dengan mahasiswa lain yang hobinya unjuk rasa?".

Dari zaman SMA, hingga masuk kuliah, hingga sekarang pun, saya masih mempertanyakan makna unjuk rasa dari Mahasiswa. Mengapa mahasiswa berunjuk rasa? Itukah bentuk kekritisan mereka? Atau itukah bentuk kepedulian mereka terhadap negara? Tapi, saat ini, adakah perubahan yang terjadi?

Sekiranya pertanyaan tersebut merupakan introspeksi bagi saya, apakah kekritisan saya telah berbuah hasil untuk hal yang lebih baik? Apakah saya akan terus cuap-cuap begini? Betul, kekritisan saya harus terus meningkat menjadi realisasi suatu perubahan.

Namun, tak cukup sampai di sana. Ada satu pertanyaan pelik yang ditujukan pada orang-orang atau mahasiswa berpemikiran kritis, kritis banget, atau agak kritis seperti saya.

"Sekarang kamu kritis, mengkritisi segala hal, pemerintah pun dikritik. Kalo nanti kamu ada di posisi mereka bagaimana? Kalo kamu melakukan hal yang sama bagaimana?" 

Cukup #jleb!

Bagi orang yang kritis tapi labil, akan berhenti sejenak bersikap kritis karena takut akan kejadian hal demikian, namun akan mengulanginya lagi ketika berada di lingkungan orang-orang kritis. Bagi orang yang hanya ikut-ikutan kritis, ya dia akan tetap kritis dan mengklaim dia idealis, namun ia akan mengalami hal yang serupa dengan oknum yang ia kritisi nanti. Bagi orang sungguh-sungguh idealis dalam kekritisannya, hingga ia lulus kuliah, ia akan tetap bersuara dan tidak akan menyentuh secara langsung hal-hal yang ia kritisi, sebelum ia mampu mengubah hal yang dikritisi dari luar, dengan caranya sendiri. Tentu, itu menjadi pilihan.

***

Saya bertanya pada teman-teman satu angkatan di Jurusan Ilmu Jurnalistik, angkatan 2009, "Apakah mereka menilai mereka kritis? Untuk apa mereka kritis?". Pertanyaan saya lontarkan di sebuah grup chatting sebuah media sosial.

Beragam jawaban muncul, baik hanya candaan maupun jawaban ngasal yang memang itulah apa yang ada di prinspip hidup mereka. Hingga seorang teman berkomentar dan membuka wawasan luas bagi saya, maupun teman-teman yang tadinya hanya bercanda. Memang, pertanyaan saya, jika tidak dipahami terlebih dahulu, akan terlihat dangkal dan konyol. Beruntung, ada seorang teman yang mengerti dan memberikan jawaban, mungkin karena pernah membahas hal yang sama.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)

Ayat di atas menjadi penerang jalan pemahaman saya, yang baru saya temukan dari sebuah link tulisan yang dikirim oleh teman tadi. Judul tulisannya "Tabayyun dalam menerima berita", dimuat pada blog muslimminang.wordpress.com. 


Berdasarkan tafsirannya, juga dijelaskan dalam tulisan itu, bahwa pada ayat tersebut terdapat kalimat fatabayyanuu, yang diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti". Maksudnya adalah, telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10)



Sejarahnya, ayat tersebut disampaikan pada Rasulullah SAW saat ia mendapatkan kabar dari seseorang mengenai perkara zakat, yang membuat Rasulullah kecewa dan marah. Namun ternyata kabar yang diterima Rasulullah hanyalah sebuah kebohongan. 

Nah, dari sana saya mendapat pencerahan bahwa ternyata sikap dan pemikiran kritis sangat dibutuhkan dalam hidup ini. Setiap pesan yang diterima, apa-apa saja yang disampaikan kepada kita, patut untuk dikritisi terlebih dahulu, agar tidak terjadi kesesatan dan kesalahpahaman di kemudian harinya. Bukan suudzon, bukan berburuk sangka, namun dengan pemikiran yang kritis kita dapat waspada. Bertanya tidaklah diharamkan. Bertanya adalah sekecil-kecilnya sikap kritis. Dengan bertanya, kita bisa tahu lebih lanjut mengenai suatu pesan, baik pesan verbal maupun non verbal, pesan tersurat maupun tersurat. Kritis, bisa jadi merupakan suatu bentuk kepedulian agar sesuatu atau pihak lain bersama kita selalu mendapat kebaikan. 

Namun, saat ini sikap kritis sering kali mendapatkan cemoohan belaka. Sikap kritis dari berbagai aktivis, tak jarang mendapatkan cibirian dari masyarakat lain. Padahal, kekritisan tersebut dilakukan demi masyarakat luas. Orang yang bersikap kritis pun, dikritik, bahkan dicela. Ini sangat tak baik, karena besar kemungkinan ada pesan-pesan baik yang terkandung di dalamnya, baik tersurat maupun tersirat. Apa mau dikata, kekritisan seseorang akan tumpul jika terus dicemooh, hingga sang pemuda kritis akan enggan untuk bersikap kritis lagi. Jika daya kritis para pemuda benar-benar hilang, ya, tak perlu diduga-duga bagaimana akibatnya. Zona nyaman akan merajalela, penjajahan kembali terus merebak. Ini akibat, tak adalah lagi jiwa muda yang mau menjalankan fungsi kontrol dirinya dengan menumbuhkan dan mengambil sikap dari pemikiran kritis. 


Saat ini, pemuda seakan ditaklukkan akan kekritisannya. Mereka diancam, mereka ditakuti. Mahasiswa, terancam putus kuliah. Pemuda, terancam dipersulit mendapatkan pekerjaan. Sesama mereka ditakut-takuti akan keadaan masa yang akan datang, yang direfleksikan pada kisah masa lalu, salah satunya peristiwa trisakti dan tanggal 21 Mei 1998. Mahasiswa ditakuti sesama mahasiswa. Itu pun tak ada daya kiritis yang muncul. Tak ada sikap kritis atas apa yang diterima dari sesama mahasiswa. Semua ditelan, hingga mahasiswa mau tak mau harus ikut jalur hidup pada normalnya. Pemuda akan terus diarahkan pada kesenangannya, hingga ia lengah, dan hancurlah dunia ini. Di sinilah, daya kritis yang membantu pada suatu kekuatan.


Jadi, kembali ke pertanyaan utama, "Untuk apa saya kritis? Saya pun sudah punya jawabannya:

"Agar saya tidak sesat, agar tak salah langkah". 


Benar, sikap kritis yang kelak membantu dan mengumpulan kekuatan, untuk mendapatkan suatu kebenaran. Ingat, hidup tak selamanya indah. Yang paling indah pun bukan berarti yang paling baik. Yang indah, bisa jadi hanya merasuk pada kenyamanan, hingga lengah dan lupa pada berbagai masalah. 


Wallahu alam. Demikianlah, semoga tulisan ini bermafaat. Semoga kita tak segan mengeluarkan daya kritis. Dari kritis kita berubah, Dari kritis kita jadi jauh lebih bik :)

Wassalamualaikum Wr Wb.

]c
cc

Jumat, 22 Februari 2013

Mechanic Festival ITB Inovasi Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan




Insitut Teknologi Bandung (ITB) lagi-lagi berusaha memunculkan cerminan bahwa sebenarnya Indonesia bisa menyusul negara-negara maju di dunia dalam pengembangan teknologi. Hal tersebut dibuktikan dengan ramainya area pusat anjungan tunai mandiri (ATM) Kampus ITB oleh berbagai benda karya inovasi inovasi mahasiswa dari berbagai daerah, pada Sabtu (2/2) hingga Minggu (3/2).
Mechanical Fesitval 2013 merupakan sebuah acara yang dilaksanakan oleh sekelompok mahasiswa ITB yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Mesin dari Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Setelah tahun 2011 yang merupakan pertama kali acara ini diadakan, tahun ini tema yang diusung adalah “Engineering for Suistanable Development” atau teknik untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu konten Mechanical Fesitval 2013 adalah National Innovation Contest. Konten ini merupakan ajang kontes yang terdiri dari beberapa kategori. Salah satunya adalah Kontes Inovasi Teknologi untuk Mahasiswa.
Kontes Inovasi Teknologi untuk Mahasiswa tersebut menghadirkan puluhan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia untuk menunjukkan bahwa mereka turut andil dalam pembangunan teknologi. Menurut Ketua Pelaksana Mechanical Festival 2013 Arfianto, peserta yang mempertunjukkan karyanya di Kampus ITB tersebut berjumlah 20 kelompok, yang masing-masingnya terdiri atas tiga mahasiswa dari satu perguruan tinggi.
Di samping menantang mahasiswa untuk dapat berinovasi dalam teknologi dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, kontes ini juga memberikan penghargaan dalam bentuk uang yang luar biasa. Arfianto mengatakan, total hadiah yang akan diperoleh pemenang mencapai Rp 25 juta. “Juara pertama Rp 12,5 juta, kedua Rp 7,5 juta, dan peringkat ketiga  RP 5 juta,” kata mahasiswa Jurusan Teknik Mesin angkatan 2009 tersebut. Selain juara satu sampai tiga, Arfianto menambahan, juga ada pemenang inovasi terfavorit. Arfianto menambahkan, karya-karya inovasi ini dinilai oleh juri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan salah seorang dosen Jurusan Teknik Mesin ITB, Ir Hendy Riyanto.
Karya inovasi teknologi yang dipajang  di stand untuk dipertunjukkan sistem kerjanya tersebut tidak semua merupakan karya asli yang secara langsung membantu pembangunan. Hampir seluruh karya tersebut merupakan contoh yang hanya untuk pertunjukan. “Yang dipajang di sana hanyalah mock-up atau contoh inovasi yang diciptakan, bukan yang sebenarnya” kata Arfianto. Ia menambahkan, pembuatan mock-up yang akan dipertunjukkan dan menjadi penilaian tersebut mendapat bantuan dari panitia acara sebesar Rp 500 ribu.
Salah satu kelompok peserta kontes ini adalah Defrian, Kristofer, dan Ryan dan Jurusan Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI). Dalam kesempatan itu ia menampilkan inovasi yang mereka namakan dengan Integrated Pelton Wheel Generator. Ketika ditemui di acara tersebut, Kristofer seraya memperlihatkan cara kerja mesin tersebut, yakni memutar baling-baling yang terbuat dari sendok, hingga menyalakan lampu yang terpasang di alat tersebut. Selanjutnya Defrian menjelaskan bahwa mesin ini sebenarnya telah ada, namun kelebihan yang mereka buat adalah anti kebisingan dan bisa dibongkar pasang.
Defrian mengaku, ketika diwawancarai, bangga bisa ikut kontes ini. Menurutnya, kontes inovasi ini dapat mengembangkan pemikiran dan kreativitas mahasiswa untuk pembangunan, terutama dengan karya yang ia dan kawan-kawan ciptakan. “Kontes dan inonvasi yang ada perlu dikembangkan di Indonesia, karena memiliki dampak positif untuk bangsa,” katanya. Ia juga mengkritik, saat ini Indonesia sendiri masih kurang menghargai karya inovasi anak muda, sehingga tidak mampu berkembang untuk pembangunan, seperti yang dialami Habibi.
Selanjutnya pada kontes tersebut dapat ditemui sebuah kompor yang ternyata tidak mengeluarkan api untuk memasak. Alat tersebut merupakan inovasi yang dibuat oleh Feri Herdiana bersama rekannya Ganjar Candra dan Dede Irawan dari Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Sangat menakjubkan, inovasi yang mereka namai Kompor Magnet atau Komnet tersebut ternyata tidak panas jika bagian untuk memanaskan tungku disentuh. Menurut Feri, besar-kecilnya panas yang dihasilkan kompor dapat diatur dengan ukuran watt.
Selain Defrian dkk dengan Integrated Pelton Wheel Generator dan Feri dengan Komnetnya, pengunjung dapat melihat banyak lagi karya anak negeri yang dapa membantu pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan tema acara tersebut. Di antaranya adalah Mesin Penghasil Biogas dari sirup sawit, mesin pembuat bioetanol sebagai alternative bahan bakar minyak, kompor berbahan bakar oxyhydrogen, lemari pendingin termoelektrik, alga penyaring knalpot, dan lain-lain.
Selan kategori kontes inovasi teknologi antar mahasiswa, dalam konten acara National Innovation Contest juga ada beberapa kategori kontes lain. Di antara kategori tersebut adalah Soap Box Car Racing atau perancangan kendaraan tanpa mesin untuk siswa sekolah menengah atas (SMA), dan lomba membuat model kendaraan masa depan untuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). “Ada juga lomba menggambar untuk anak SD, yaitu menggambar lingkungan Kota Bandung dan kendaraan masa depan,” kata Arfianto. Afif-mj03

KPU Bandung Terima Berkas Cawalkot Perseorangan




BANDUNG— Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung mulai membuka penerimaan berkas dukungan peminat jalur perseorangan pemilihan wali kota pada Ahad (10/2), di Sekretariat KPU Kota Bandung, Jl Soekarno-Hatta. Penerimaan berkas dukungan tersebut dilakukan hingga Kamis (14/2), sekaligus dengan penghitungannya pada setiap harinya.
Ketua Kelompok Kerja Pencalonan Wali Kota Bandng Evie Ariadne Shita Dewi mengatakan, waktu penerimaan berkas dukungan tersebut setiap harinya dilangsungkan mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Kecuali hari terakhir, tanggal 14 Februari, penerimaan dibuka hingga pukul 24.00 WIB,” ujarnya ketika ditemui pada hari pertama penerimaan berkas dukungan tersebut.
Evie mengatakan, pada masing-masing harinya akan langsung dilaksanakan penghitungan jumlah dukungan masyarakat, jika tidak ada lagi yang mendaftar pada hari itu. Ia menambahkan, penerimaan berkas dilaksanakan dalam waktu lima hari sebagai antisipasi jika dukungan yang diserahkan ternyata kurang. “Bagi yang mendaftar di ujung-ujung waktu yang diberikan, tidak punya kesempatan menambah dukungan jika ternyata kurang setelah dihitung,” katanya melanjutkan.
Hari pertama penyerahan berkas-berkas dukungan dihadiri oleh pasangan Marsma TNI Wahyudin Kanadinata dan drg. Tony Apriliani, tepat pada pukul 08.00 WIB. Menurut Evie, pasangan ini membawa berkas dukungan sebanyak 36 kotak atau 429 buku data pendukung. Ketua tim kampanye pasangan Wahyudin-Tony, Nevi, yang juga merupakan anak kandung Wahyudin mengatakan, dukungan yang masuk hari itu berjumlah 85.589 berkas, dari 30 kecamatan dan 151 kelurahan.
Menurut Evie, pada hari pertama itu seharusnya ada dua pasangan yang menyerahkan berkas dukungan. “Pasangan Bambang Setiadi dan Alex Tahsin juga harusnya hari ini, tapi saya mendapatkan kabar mereka menundanya besok karena ada berkas yang kurang,”katanya hari itu. Pasangan Bambang-Alex sendiri, berdasarkan pengakuan Bambang pada Sosialisasi Pencalonan Perseorangan oleh KPU pada Rabu (6/2) lalu, telah menyiapkan dukungan hingga 100.000 pendukung.
Evie mengatakan, berkas-berkas dukungan tersebut dihitung secara manual dengan melihat kelengkapan syarat-syarat setiap pendukung satu per satu. Ia melanjutkan, penyerahan tersebut menyertakan KPU, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan beberapa pihak keamanan dari Polres Bandung Timur dan Polsek Buah Batu. “Penghitungan dilakukan oleh KPU dibantu oleh Panitia Pemilu Kecamatan (PPK),”katanya menambahkan.
Pelaksanaan penyerahan, penerimaan, dan penghitungan berkas dukungan pada tiga hari itu menyertakan keamanan dari Polres Bandung Timur, Polsek Buah Batu, dan Koramil Bandung. Menurut Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) Buah Batu Kompol Maria Horet Sera SH, Polres Bandung Timur beserta Polsek Buah Batu Bandung mengerahkan delapan orang untuk keamanan penerimaan berkas tersebut. “Jumlahnya lebih dari itu, akan dikerahkan secara situasional, karena juga ada pilgub,”katanya.
Menurut Evie, setelah perhitungan yang dilakukan sekaligus pada tiga hari penerimaan berkas tersebut, penghitungan selanjutnya dilakukan pada Jumat (15/2) untuk memeriksa ulang berkas yang diterima dan sah. “Selanjutnya akan dilakukan pengecekan jumlah dengan sensus langsung ke setiap pendukung, mulai tanggal 20 Februari oleh PPS,” katanya. Afif-mj03

Festival Kabaret Masterpiece Karya Besar yang Tak Terduga




Kabaret menjadi salah satu jenis seni drama yang semakin digandrungi anak muda. Tak terkecuali di Bandung, Kabaret seakan menjamur di kalangan pelajar dan remaja lainnya, sebagai wadah untuk berkarya dan berekspresi. Kabaret juga ternyata menjadi suatu kegiatan rutin yang disajikan pada ekstrakurikuler hampir di setiap sekolah, dan tentunya ada nilai khusus dari guru-guru dan sekolah.
Festival Kabaret Masterpiece, menjadi suatu ajang unjuk bakat bagi para penggiat kabaret, khususnya pelajar dan anak muda lainnya. Festival ini merupakan sebuah hasil karya ‘masterpiece’ dari teman-teman The Start Kabaret, salah satu sanggar kabaret di Kota Bandung. Di tahun 2013 ini merupakan pertama kalinya The Start Kabaret mengadakan festival untuk mengapresiasi proses pembelajaran teman-teman penggiat Kabaret lainnya.
Festival ini mengusung tema “Out of Ordinary”. Secara bahasa, tema tersebut selaras dengan nama festival Kabaret ini, “Masterpiece”. Ya, menurut Ketua Panitia Festival ini, Syifa Sofiana Rohman, tema tersebut bermakna suatu pengharapan untuk menampilkan kabaret yang tak bisa diduga. “Masterpiece, jalan ceritanya ga bisa diduga. Pembawaannya juga menakjubkan dan mengagetkan!” ujarnya bersemangat.
Nama Masterpiece sendiri sebenarnya, menurut Koordinator Acara Festival Kabaret Masterpiece Shelma, merupakan nama angkatan yang berperan sebagai panitia di acara tersebut. Menurut Shelma, acara tersebut dipanitiai oleh anggota The Start Kabaret yang saat ini duduk di bangku kelas XI sekolah menengah atas. Meskipun berasal dari nama angkatannya, Shelma berharap Festival Kabaret Masterpiece ini akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, diteruskan oleh angkatan di bawah mereka.
Shelma mengatakan Shelma, Kabaret ini diikuti oleh 12 komunitas dan sanggar Kabaret yang ada di Kota dan Kabupaten Bandung. Di antara 12 kabaret itu adalah Kapastwo, Sensasi Star, Zero Seven Project, Realita, Betops, T420, New kabisa, Bangsas X, Kabaret 5, Tetris, dan Stepu Begin.
Festival Kabaret ini memunculkan tiga juara. “Penampil yang mendapatkan juara pertama mendapatkan piala bergilir, piala tetap, dan uang saku Rp 5 juta,” kata Sekretaris Kabaret The Start Dike Wichaksono. Pemuda yang ternyata telah bergelar sarjana hukum tersebut melanjutkan, juara kedua akan mendapatkan piala tetap dan uang Rp 3 juta. Sedangan juara ketiga akan mendapatkan piala tetap dan uang Rp 2 juta.
Selain juara penampilan di setiap kelompoknya, festival juga memberi anugerah kepada beberapa elemen terbaik untuk kesempurnaan sebuah Kabaret. “Ada actor teraik, aktris terbaik, sutradara terbaik, cerita terbaik, properti terbaik, artistik terbaik dan mixing terbaik,” kata Shelma ketika dijumpai saat mempersiapkan acara tersebut.
 Dike mengatakan, penampilan peserta akan dinilai oleh para juri yang memang aktif di bidang Kabaret. Di antara juri tersebut adalah Juri Aad dari Gedung Kesenian Rumintang Siang, Kemal Ferdiansyah, yang merupakan aktor dan sutradara dari Forum Kabaret Bandung serta Layar Oanggung, dan Triana yang merupakan praktisi kabaret.
Menurut Shelma, para peserta festival tidak terpatok pada sebuah tema cerita yang biasanya disediakan oleh panitia festival. “Yang penting acaranya bebas, sekreatif mungkin,” demikian ia mengatakan seraya berharap peserta menampilkan yang terbaik. Ia menambahkan, masing-masing kelompok diberi waktu 30 menit untuk berakting, dan membawakan cerita yang masterpiece atau belum pernah ada sebelumnya.
Menurut Dike, The Start Kabaret mengadakan festival ini sebagai sebuah gebrakan untuk member ruang yang nyaman untuk berekspresi bagi para penggiat Kabaret, seraya dapat diapresiasi sebaik mungkin. “Latar belakangnya, kami sering ikut festival, tapi beberapa festival pada kenyataannya mahal dan kurang menghargai proses persiapan, atau esensi sebuah penampilan Kabaret,” katanya menjelaskan. Pada Kabaret ini memang, The Start dengan panitia dan anggota yang bersemangat menyediakan keleluasaan dalam berkarya, termasuk persiapan properti dan pencahayaan.
Selain persediaan lebih dalam properti dan artistic, festival tersebut juga diramaikan oleh penampilan beberapa seniman lain. Di antara seniman yang mendukung meriahnya apresiasi seni Kabaret ini ialah penampilan musik Polbek, Sprint Heroes, Thirteen m, Percutwo, Kresus. Di samping  itu juga ada Parade Monolog yang dibawakan oleh Forum Kabaret Bandung.
The Start Kabaret sendiri sebagai pihak penyelenggara juga menghadirkan sebuah penampilan. Menurut Dike, The Start akan menyajikan penampilan yang ternyata hanya untuk mengumumkan siapa pemenang. “Penampil tersebut merupakan anggota yang saat ini duduk di kelas VIII sekolah menengah pertama,” katanya. Ini menjadi sebuah nilai lebih untuk festival ini.
Menurut Dike, yang merupakan pendiri Kabaret The Start sejak lulus sekolah menengah pertama, berpendapat bahwa kabaret saat ini terbilang berkembang dan maju. “Kalau dulu, kabaret cuma lebih menonjol parodinya. Kalau sekarang kabaret sudah memperhatikan alur dan unsur cerita,” ujarnya. Ia sangat berharap bahwa kabaret di tengah anak muda dapat terus berjaya dan beregenerasi. Afif-mj03